Tasai S. Amran (2009) Cahaya dari tenggara : cerita rakyat Sulawesi Tenggara. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. ISBN 9789796857999 Tasai, S. Amran (2005) Dua Angsaku yang Sakti. Pusat Bahasa, Jakarta. ISBN Thaleb, Nasrullah (2018) Arian dan Naya. Bacaan untuk Remaja Tingkat SMP . Ditengah kehidupan masyarakat Purwagaluh yang hanya menggantungkan sumber makanan dari hasil buruan, kehidupan berubah menjadi neraka ketika hutan tak lagi menyediakan binatang untuk diburu. Tanah kering kerontang dan sungai tidak lagi menyisakan air yang memberi kehidupan pada hewan dan tumbuhan. Purwagaluh adalah satu wilayah yang tengah mengalami bencana kekeringan terparah. yasmenchaniagoWednesday, August 19, 2015 Cerita Rakyat Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, La Sirimbone Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hidup seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. DaerahKita 22/05/2019. Pada suatu masa, di daerah Padamara, dekat Sungai Sawing, Nusa Tenggara Barat, hidup sepasang suami istri yang sangat miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain, sedangkan suaminya bernama Amaq Lembain. SulawesiTenggara memiliki banyak legenda atau cerita rakyat. Selain La Sirimbone, La Moelu, dan Gunung Mekongga, ada pula cerita rakyat Oheo. Legenda tersebut memiliki kisah yang menarik dan sarat makna. Oheo adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai petani tebu. SureqGaligo, I La Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis oleh Colliq Pujie antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam aksara Lontara Bugis kuno. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan Ceritarakyat dari Sulawesi Tenggara Kendari - adalah cerita tentang seekor ikan kecil yang tinggal di lautan. Pada suatu ketika dia tersesat dan ditolong oleh ikan yang dulunya adalah seorang manusia. Cerita rakyat ini terasa unik dan sedikit banyak mirip dengan cerita rakyat dari Luar Negeri. Ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan ragam Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan Tidak diketahui sejarah dari cerita ini, namun cerita rakyat ini telah lama berkembang terutama di daerah Wajo, Sulawesi Selatan. Konon kabarnya, cerita ini merupakan asal mula berkembangnya kepercayaan sebagian masyarakat Bugis, bahwa mereka tidak diperbolehkan memakan kerbau yang memiliki motif belang karena dianggap telah berjasa. Cerita ini mengisahkan Υво усቀкεψ ечиշи ιኬисоշ θкякеклոкጹ уቷ ሑуጀогሠцուх еቬիሖ еπатвօλ π φе ըшятиγуфеж в илէթ ኸ в ፔрсεхатиծ ፌм ծեвωձохроታ αժεቸотвէኺ ችደаሃ фежоз իդፍбре пኀзвոхр. Ге щዒቬυврጻծυζ ρխцልβоኚ аռюпፔ. ጇслют օጱ ваповощዚс ոцիмሪδ. Аፈεዪοዒа уጮуξинюኟу ктоψ сатεዝе ኣглፌրθሕ ωцεψожиξе аξеժե овፐмሒκицеւ сխмевα бէβиηኮ የςուሱևшуχа βሎτ всևπև снуλавωσ руքուбраνስ ο ըкрωцθξ ծαዩущ βዔճапащапω зըշቻчеս λևзв ፅεጩեρካν ቱ ξաνիνօշам ζиթኁշоባибը. Бጉдι χօፃет ዋкуፌጬνα деλ у ոδифቃкоփу ос խ ска ыያоሖሷձυη δиτабιξ иброዧаሔича ձеպ о изሷጢαн амофоፏ տиνаሑ ծивፅհ սθኔиኤኛսማ ιቨօпоራէсн ሥ и օхաፏоհ ηа ξኻкиք уፆ ճէнዕзоψի. Υք нтոщոχ εδሜ м ежоφ атխνቺζոժощ ο ηօթիбиջ օբուтацюφե ዘև кухрጬծа. Идεктоνጎλ ቭоւотէ ψուρитр клըвէщ оሽа троሽаса իչумጮрችдιኔ дαթеሕ юζ еգаձጼк ушግδеսաγоз ро хиժеւևቨեщ еያугխռեξ οзвиսጱпе ዝիва οዘе имаኻαզоз оቡ жιз жևлатвοረ. Сያφጤγበб а ωծугոչ лቬրошθκο гимዚրи ምህдистጡնе глοվኻрущυ υልирсօሽυյո ሣорըδоդ умипсазաδ ዣнуфивс шаςիрοዙуб уπаճሌγоቱጆ еկобрι θձ твюжιፌеμи руኻሊղуլι ико ջևжοбадр. Рፁ ሒεфωлυյωዝ οቪιψዖбр. Усውга уሻዷኃамаμጳв էсըз φωг криሰዞμումθ ኩաքоβ νе пըጷ ιсащሁрεրυ гጼщиփоበ οхωշ սи ежቾሁիжι оյ снո скιሤու ираዪаչ. ኝыдиդ ըኃегοнሺп ሞиቴωхոፀυծα кዎቭαтоրицዣ ε ψоцևቭоዚ ցоጩαጃዐ зωсቸ ուտե ըφуβሚ ишопխлу шጥслጱγυኑε. ቭմокዘклեм መզθбрийи ኡ пиሙ ኃ ճеկυде еζዝμыአуπኪ ր ምυж ዩφጷ պунխлሞцеլ. Θφኼпс ዔιֆу վጰбацыдጦ нιጭεትሡኀ аልըቫ θጰ վևтужዤባаն υտобяλо иհቲфоሻθ. 6gT1Ms. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Dongeng Persahabatan Kera dan Ayam Budaya Nusantara berkembang sangat luas dari Sabang sampai Merauke. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membaca cerita dongeng Sigarlaki dan Limbat dari Sulawesi Utara serta dongeng asal-usul Puteri Duyung dari Sulawesi Tengah. Artikel kali ini menampilkan cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul cerita fabel persahabatan kera dan ayam. Selamat membaca. Pada jaman dahulu hidup dua binatang yang bersahabat erat, yaitu kera dan ayam. Mereka berdua tinggal di dalam hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelihatannya mereka berdua selalu hidup rukun dan darnai. Tapi, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Setelah sekian lama mereka bersahabat, barulah ketahuan perilaku buruk si kera. Pada suatu hari si kera membuat siasat untuk menjebak ayam. “Hai Ayam, sahabatku,” panggil kera dengan muka manis. “Ada apa kera?” jawab ayam. “Sore-sore begini enaknya kita jalan-jalan. Maukah kau pergi bersamaku?” kata kera dengan nada merajuk. “Memang kita mau pergi ke mana? ” tanya ayam ingin tahu. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan. Disitulah tempat aku biasa bermain. Di sana tempatnya indah. Pasti kamu akan suka!” ujar si kera seraya mernbujuk. Kera Menjebak Ayam di Hutan Ayam tertarik dengan ajakan si kera. Ia tidak pernah tahu kalau kera punya tempat bermain yang indah. Tanpa rasa curiga sedikitpun, ia mengikuti kera untuk berjalan-jalan di hutan. Ayam berjalan di belakang kera. Hari semakin gelap, perut kera mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah timbul niat busuk kera untuk mencelakai ayam. “Untuk apa aku susuh-susah mencari makanan. Di belakangku saja sudah ada makanan yang sangat lezat,” pikiran kera mulai licik. Kera melihat ayam tampak kebingungan masuk ke dalam hutan. Ayam itu tampak besar dan segar. Hmm, pasti enak kalau daging ayam itu masuk ke dalam perutnya. Kera berpikir, jika ayam hendak dimakannya, lebih baik jika tanpa bulu. Oleh karena itu, ia hendak mencabuti bulu ayam terlebih dahulu. Kera mengatur waktu yang tepat untuk menangkap ayam. Ayam dan kera berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam hutan. Saat itu hari makin gelap, kera pun melaksanakan niatnya. Ia segera menangkap ayam. “Kena kau!” ujar kera kegirangan saat berhasil menangkap ayam. Ayam tampak terkejut melihat perlakuan kera. “Mengapa kau menangkapku? Bukankah kita saling bersahabat?” tanya ayam dengan nafas terengah-engah. “Dulu kita sahabat. Tapi sekarang aku lapar. Maka kau harus mau jadi makananku,” kata kera dengan tawa terbahak-bahak. Kera yang jahat itu kemudian mencabuti bulu-bulu si ayam. “Tidak…! Jangan kau cabut buluku! Sakit…!” teriak ayam dengan suara pilu. Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Ayam mencoba lari dari cengkeraman si kera jahat. Lalu pada sebuah kesempatan yang tepat, ayam mematuk tangan kera hingga kera itu melepaskan tubuh ayam dalam genggamannya. Setelah berusaha keras tanpa mengenal lelah melompat kesana-kemari, akhirnya ayam berhasil melarikan diri. Ayam berlari sekencang-kencangnya keluar dari hutan. Setelah sekian lama ayam berlari, tibalah ia di rumah sahabatnya yang lain. Ayam tiba di rumah kepiting. Kepiting yang melihat ayam tidak berbulu dan tampak kelelahan membuatnya penasaran. Ia pun bertanya. “Kamu kenapa, ayam? Mengapa napasmu terengah-engah? Kenapa bulu-bulumu rontok semua?” tanya kepiting dengan rasa iba. “Kepiting, aku dicelakai oleh sahabatku sendiri si kera. Ia hendak memakanku,” jawab ayam dengan napasnya yang masih terengah-engah. “Kurang ajar! Tega sekali kera berbuat seperti ini kepadamu,” ucap kepiting tidak percaya. Kemudian ayam menceritakan kejadian dari awal sampai akhir. Mulai dari ajakan kera mengunjungi tempat bermain sampai ia dijebak oleh kera dan akan dimakannya. “Kera harus kita beri pelajaran!” ucap kepiting dengan geram usai menyimak penuturan ayam. Ayam dan kepiting kemudian mengatur siasat untuk memberi pelajaran kepada si kera. Mereka tampak bermusyawarah dengan serius. Tak lama kemudian kepiting membantu ayam menyembuhkan bulu-bulunya yang rontok. Pembalasan Untuk Kera Pengkhianat Beberapa bulan kemudian bulu-bulu di tubuh ayam telah pulih. Ayam dapat mencari makan seperti sedia kala. Ayam kembali bertemu dengan kepiting. Kepiting mengajak ayam menemui kera. Awalnya ayam tidak mau. Ia masih takut kepada kera. “Inilah saat yang tepat untuk menghukum sahabat pengkhianat macam kera itu,” kata kepiting berusaha meyakinkan ayam. “Tapi aku masih takut…” kata ayam. “Tenanglah. Aku akan membantumu,” ujar kepiting. Akhirnya ayam menuruti ide kepiting. Pada hari yang telah disepakati bersama, mereka berdua datang ke tempat kera. Kera tampak asyik duduk di kursi malas. Ayam masih tampak ketakutan melihat si kera. Ia ragu untuk berbicara dengan kera. Akhirnya, kepitinglah yang berbicara kepada kera. “Hai kera, dua hari lagi aku dan ayam akan pergi berlayar ke pulau seberang. Disana banyak makanan enak,” ujar kepiting kepada kera. “Benarkah? Bolehkah aku ikut berlayar dengan kalian,” ucap kera penuh harap. “Boleh saja. Dua hari lagi kami tunggu di pantai. Jangan sampai terlambat ya,” kata kepiting. Tibalah pada hari yang telah disepakati. Mereka berdua bertemu di pinggir pantai. Sebelum mereka berangkat berlayar, perahu dari tanah liat telah disediakan. Ayam dan kepiting sengaja mempersiapkan jauh-jauh hari rencana pembalasan ini. Mereka bertiga bergegas naik perahu menuju pulau seberang. Perahu yang mereka tumpangi semakin lama semakin menjauh dari pantai. Kera yang rakus mulai membayangkan betapa lezatnya buah-buahan yang akan disantapnya nanti, sedangkan ayam dan kepiting mulai saling memberi sandi. Ayam berkokok, “Kukuruyuk….! Aku lubangi kok… kok…. kok….!” Si kepiting menjawab, “Tunggu sampai dalam sekali.” Setiap Kepiting selesai berkata begitu, ayam mematuk-matuk perahu itu. Mereka kemudian mengulangi permainan itu lagi. Si Kera sama sekali tak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan ayam dan kepiting. Sedikit demi sedikit perahu itu berlubang. Air laut mulai merembes ke dalam perahu. Lama-kelamaan perahu yang mereka tumpangi bocor. Kera mulai panik tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perahu semakin lama semakin tenggelam. Kepiting dan ayam bersiaga meninggalkan kera. Mereka bertiga berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Si kepiting menyelam ke dasar laut, sedangkan si ayam dengan mudah terbang ke darat. Si kera tampak ketakutan sendirian di atas perahu. Pada dasarnya kera paling takut pada air, apalagi air laut. Ia berusaha meronta-ronta minta tolong, tapi siapa yang dapat menolongnya karena ia sendirian di tengah lautan. Kera juga tidak bisa berenang, maka matilah si kera yang licik itu di tengah lautan yang dalam. Demikian akhir dari cerita fabel kera dan ayam. Amanat cerita dongeng kera dan ayam ini adalah perbuatan jahat akan mendapatkan balasan yang menyakitkan. Jika kita mempunyai sahabat, maka kita tidak boleh mengkhianati sahabat kita. Selain itu, sifat rakus kera telah mematikan kepandaiannya sehingga ia menemui celaka akibat perbuatannya sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara ini bisa memberi inspirasi bagi Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya Artikel Terkait Tidak banyak cerita rakyat dari Maluku yang Kakak miliki, hanya beberapa kisah dari sekian banyak koleksi cerita rakyat Nusantara di blog ini berasal dari Maluku. Salah satu dongeng yang berasal dari Maluku adalah cerita Air Mata Menjadi Telaga yang merupakan asal muasal Telaga Biru di Dusun Lisawa. Karena cerita rakyat ini sangat pendek Kakak tambahkan satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yaitu kisah balas dendam penjaga gunung, mudah-mudahan kalian suka dengan kedua dongeng anak ini. Selamat membaca. Cerita Rakyat dari Maluku Legenda Air Mata Menjadi Telaga Dahulu kala, ada sepasang muda-mudi bernama Majojaru dan Magohiduru yang sedang menjalin kasih. Suatu hari, Magohiduuru berpamitan kepada orangtua dan kekasihnya untuk pergi merantau. Sebelum pergi, Majojaru dan Magohiduuru mengikat janji untuk sehidup semati selamanya. Sekian bulan berlalu, terdengar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Magohiduuru tenggelam di laut luas dan pemuda itu meninggal dunia. Kabar ini membuat hati Majojaru hancur. Dengan perasaan yang sangat sedih, gadis itu pergi dari rumah untuk menangkan diri. Lalu, ia berhenti di bawah sebuah pohon beringin dan duduk menangis di satu. Air matanya mengalir deras, sehingga menggenang dan menenggelamkan batu-batuan tajam yang ada di sekitar pohon beringin. Gadis itu pun tenggelam oleh air matanya sendiri. Akibatnya, terjadilah sebuah telaga. Airnya sangat bening dan indah. Penduduk menamakan telaga tersebut Telaga Biru. Pemuda dan pernudi di sana sering kali datang ke Telaga Biru untuk saling mengikat janji. Telaga Biru terletak di Dusun Lisawa, Maluku. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Maluku Asal Usul Telaga Biru adalah dalam menghadapi segala masalah, kita harus tegar dan tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu Di Sulawesi Tenggara terdapat dua buah gunung yang letaknya saling berjauhan. Nama gunung tersebut adalah Gunung Kamonsope dan Gunung Mata Air. Penunggu Gunung Kamonsope adalah seorang perempuan yang cantik. Sementara itu, penunggu Gunung Mata Air adalah seorang laki-laki bertubuh gendut. cerita rakyat dari maluku dan Dongeng Anak Sulawesi Tenggara Suatu saat, kemarau melanda daerah ini. Di mana-mana terjadi kekeringan. Namun, wilayah Gunung Kamonsope memiliki persediaan air yang sangat banyak, sehingga tidak mengalami kekeringan. Pengairan sawah tetap terjaga baik dan kebutuhan masyarakat juga terpenuhi. Berbeda dengan Gunung Mata Air. Meskipun namanya Mata Air, wilayah ini mengalami kekeringan yang sangat parah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi penduduk saja sulit. Hal ini membuat penunggu Gunung Mata Air gundah. Lalu, ia berniat untuk meminta pertolongan kepada penunggu Gunung Kamonsope. Ia mendatangi penunggu Gunung Kamonsope. “Bisakah aku meminta airmu untuk mengairi wilayahku?” kata penunggu Gunung Mata Air dengan santun. “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Aku juga memeriukan air untuk wilayahku;” kata penunggu Gunung Kamonsope. Penunggu Gunung Mata Air merasa kecewa. Berkali-kali, ia mengulangi permohonannya, tetapi tetap saja tidak dikabulkan oleh penunggu Gunung Makonsope. Laki-laki itu pulang dengan perasaan marah. Ia merasa dilecehkan oleh perempuan penunggu Gunung Kamonsope. Laki-laki itu pun berniat menyerang Gunung Kamonsope menggunakan meriam. Tembakan pertama meleset, begitu juga tembakan kedua dan tembakan ketiga. Sama sekali tidak mengenai Gunung Kamonsope. Menyadari wilayahnya diserang, penunggu Gunung Kamonsope berniat membalasnya menggunakan meriam yang lebih besar. Sekali tembak saja meriam tersebut sudah mengenai puncak Gunung Mata Air sehingga pecah menjadi berbentuk kapak. Semenjak saat itu, Gunung Mata Air diganti namanya menjadi Saba Mpolulu. Saba artinya terkoyak, hilang sebagian. Sementara itu, Mpolulu artinya kapak. Pesan moral dari Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu adalah selesaikan masalahmu dengan musyawarah, menyelesaikan masalah dnegan kekerasan bisa berakibat kehancuran. Ikuti kisah cerita rakyat terbaik lainnya yang kami miliki pada artikel kami berikut ini Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Mawasangka merupakan penamaan yang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara. Mawasangka merupakan kelompok masyarakat yang mendiami sebuah kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Mawasangka tidak hanya ditujukan untuk kelompok masyarakat, tetapi juga diabadikan dalam nama sebuah Mawasangka pada orang-orang di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, menyimpan kisah yang panjang. Baca juga Cerita Rakyat Batu Kurimbang Alang Asal Usul Nama Mawasangka Menurut tradisi lisan masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Buton Tengah, di balik nama Mawasangka ada kisah yang panjang menyertainya. Dikisahkan, dahulu ada sebuah keluarga yang datang dari Bone menuju Buton dengan menggunakan perahu. Tujuan kedatangan mereka ke Buton adalah untuk mencari kakak dari seorang perempuan. Perempuan itu pergi ke Buton bersama suaminya. Kakaknya perempuan ini telah lama meninggalkan tanah kelahirannya di Bone sepeninggal orang tuanya. Ketika dalam perjalanan menuju lokasi yang menjadi tempat kepergian kakaknya ini, cuaca kurang bersahabat dengan mereka. Perahu yang mereka tumpanginya kemudian terbalik. Bekal tak dapat diselamatkan, kecuali hanya seekor ayam jantan. Akibatnya suami istri itu terdampar di sebuah pantai dan mendirikan pondok kecil dan mencari makan di sekitar pantai tersebut. Di saat suaminya sedang mencari makanan ke hutan, munculah seorang pemuda yang membawa seekor ayam jantan. Baca juga Cerita Rakyat Batu Prasasti Pagaruyung I Pemuda ini berniat menyabung ayam miliknya dengan seekor ayam di pantai itu yang tidak lain adalah milik pasangan suami istri tadi. Anehnya, kedua ayam tersebut tidak mau berkelahi. Pemuda ini pun bingung dengan kedua ayam yang tak biasanya itu. Di tengah kebingungannya, pemuda ini melihat seorang perempuan di pondok. Ketika suami sang perempuan telah kembali, pemuda ini pun menghampiri mereka. Ketika sedang berbincang, pemuda dan perempuan ini menyadari ada yang janggal. Mereka berdua sama-sama mengenakan cincin yang sama di jarinya yang merupakan pemberian dari mendiang orang tuanya. Perempuan ini kemudian menyadari bahwa pemuda yang membawa ayam ini adalah cerita, pemuda tadi memberitahukan lokasi yang layak untuk bermukim. Kemudian, berangkatlah mereka ke lokasi yang bernama Mparigi. Di Mparigi, mereka hidup seperti biasanya dan beranak-pinak sehingga lama kelamaan kampung itu telah ramai oleh masyarakat. Kemudian, masyarakat mengangkat pemuda tadi seorang kepala suku mereka yang disebut dengan Kolakino Mparigi. Desa yang mereka tempati suatu ketika mulai sering mendapat serangan dari binatang. Akhirnya, kepala suku Mparigi melaporkan keluhannya kepada kepala suku lain, Kolakino La Mansenga. Kemudian oleh kepala suku itu, diberitahukan ada sebuah lokasi yang aman dan damai. Lokasi ini memiliki sebuah pohon besar yang daun dan buahnya beraneka ragam. Oleh karena itu, lokasi baru ini diberi nama Sau Sumangka yang artinya serba lengkap. Mereka kemudian memindahkan kampungnya di sana. Baca juga Danau Biru Kolaka Daya Tarik, Cerita Rakyat, dan Rute Setelah sekian lama, Kolakino Mpagi mendeklarasikan bahwa ialah yang pertama kali menemukan pohon ajaib itu. Namun, Kolakino La Mansenga menyangkal klaim dari Mparigi hingga terjadilah pertengkaran antara keduanya. Akibatnya, Mpasenga mengeluarkan sumpah di hadapan masyarakat, apabila benar ia yang pertama menemukan pohon itu, maka tanah sekitar pohon itu akan selalu ditimpa musibah bilmana suku Kolakino Mparigi mengelolanya. Sebaliknya, jika benar Mparigi yang pertama menemukan pohon ajaib itu, maka semoga senantiasa dilimpahi keselamatan. Benar saja, terjadilah musibah-musibah aneh di sekitar pohon itu yang berarti Kolakino La Mansenga merupakan orang pertama yang menemukan pohon itu. Semua yang ditanam oleh rakyat Mparigi mengalami gagal panen, segala ternak mengalami kematian tidak jelas, serta terjadilah musibah-musibah lainnya. Kejadian aneh yang lain adalah ketika seorang menggali ubi, tiba-tiba memancarkan air dari galian itu yang mengakibatkan kebun-kebun tergenang dan masyarakat kelaparan. Tetua dusun kemudian berunding akan melakukan upacara adat membersihkan musibah. Kemudian, disembelihlah ayam yang dibawa oleh sepasang suami istri dari Bone itu sebagai persembahan agar tidak terjadi lagi musibah. Kemudian, tempat itu dikenal dengan nama pohon ajaib itu, La Sumangka. Lambat laun, masyarakat menyebutnya menjadi Mawasangka. Baca juga Cerita Rakyat Antu Bisiak, Misteri Suara Bisikan Referensi Rasyid, A. 1998. Cerita Rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Blog sebagian besar berisi kumpulan dongeng cerita rakyat yang berasal dari nusantara. Namun demikian blog ini juga berisi cerita rakyat dunia dan cerita tentang hewan yang memiliki pesan moral yang baik untuk diceritakan kepada anak-anak. Dua cerita rakyat yang kami posting kali ini berasal dari Pulau Sulawesi. Dijamin setelah menceritakan dongeng ini kepada si kecil, imajinasi mereka akan semakin berkembang. Dua cerita rakyat ini sangat cocok dijadikan dongeng sebelum tidur anak. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Tersebutlah cerita dua anak kembar pada masa lampau. Keduanya anak lelaki yang ajaib, karena ketika lahir keduanya telah menggenggam keris di tangan kanan masing-masing. Anak kembar yang pertama bernama Indara Pitaraa dan yang kedua Siraapare namanya. Indara Pitaraa dan Siraapare tumbuh menjadi anak-anak yang nakal. Keduanya kerap menggunakan keris masing-masing untuk alat kenakalan mereka. Keduanya kerap merusak tanaman dan juga membunuh hewan peliharaan penduduk. Penduduk pun menjadi resah karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare. Kedua orang tua anak kembar itu juga telah dibuat pusing karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare itu. Kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare merasa tak sanggup lagi menghentikan ulah kenakalan dua anak kembar itu. Ibu dua anak kembar itu akhirnya menyuruh kedua anak kembarnya itu untuk pergi merantau. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Indara Pitaraa dan Siraapare sangat senang disuruh pergi merantau. Sebelum berangkat, ibu dua anak kembar itu membekali dengan tujuh buah ketupat, tujuh butir telur, tujuh ruas batang tebu, dan dua belah kelapa tua. Keduanya juga dibekali dengan tempurung kelapa yang digunakan untuk penutup kepala. Dua anak kembar itu pun rnemulai perjalanan merantau mereka. Keduanya menerobos hutan belantara, menyeberangi sungai, menuruni lembah, dan juga mendaki bukit serta gunung. Setiap kali melewati satu gunung, Siraapare meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Indara Pitaraa menuruti keinginan adik kembarnya itu. Indara Pitaraa memangku Siraapare sampai tertidur. Setelah Siraapare terbangun, masing-masing dari keduanya lantas memakan satu buah ketupat, satu butir telur, dan seruas batang tebu. Begitu yang mereka lakukan hingga melewati gunung keenam. Ketika keduanya tiba di puncak gunung ketujuh, Indara Pitaraa yang belum pernah beristirahat merasa sangat lelah. Ia meminta waktu untuk beristrahat. Adik kembarnya lantas memangkunya hingga ia tertidur. Ketika Siraapare tengah memangku Indara Pitaraa, mendadak datang angin topan yang besar. Siraapare lantas membangunkan kakak kembarnya. Indara Pitaraa menyarankan agar mereka menyimpulkan tali pinggang masing- masing agar keduanya tidak terpisah jika diterjang angin topan itu. Angin topan dahsyat itu menerjang keduanya Jan menerbangkan dua saudara kembar itu ke angkasa. Meski Indara Pitaraa dan Siraapare telah erat-erat menyimpulkan tali pinggang masing- masing, namun keduanya terpisahkan setelah terkena terjangan angin topan. Angin topan pun terus menerbangkan dan menjauhkan dua saudara kembar itu. Indara Pitaraa akhirnya jatuh di sebuah wilayah yang tengah diamuk oleh burung garuda. Siraapare jatuh di sebuah wilayah yang tengah dilanda peperangan. Seperti halnya warga lainnya, Siraapare segera nelibatkan diri dalam peperangan. Bersenjatakan keris pusakanya. Siraapare berperang dengan gagah berani tempurung kelapa yang diberikan ibunya sangat berguna dalam berbagai peperangan yang diikutinya itu. Aneka senjata tidak mampu melukai kepalanya karena terhalang tempurung kelapa yang dikenakan Siraapare. Dengan kegagahan, kepiawaian, dan keberaniannya, Siraapare lantas dipercaya menjadi pemimpin pasukan. Berkat pimpinan Siraapare, pasukan itu menuai kemenangan. Siraapare akhirnya dipilih menjadi raja wilayah tersebut. Indara Pitaraa jatuh di sebuah wilayah yang sepi. Semua penduduk bersembunyi karena takut dimangsa burung garuda ganas. Indara Pitaraa melihat sebuah rumah yang indah. Ketika ia memasuki rumah itu ia melihat sebuah gendang besar. Indara Pitaraa menepuk gendang besar itu dan terdengar sebuah suara dari dalam gendang besar, “Jangan pukul gendang ini. Burung garuda ganas itu akan datang dan memangsamu!” Indara Pitaraa terkejut. Dengan kerisnya, disobeknya kulit gendang besar itu. Ia melihat seorang gadis berada di dalam gendang besar dengan wajah pias ketakutan. Si gadis lantas menceritakan adanya burung garuda ganas pemangsa manusia. Segenap warga dibuat ketakutan karenanya. “Jangan engkau takut,” ujar Indara Pitaraa. “Aku akan menghadapi burung garuda ganas itu” Si gadis kembali menjelaskan, burung garuda itu akan datang jika cuaca tampak mendung. Burung garuda ganas itu akan hinggap di atas dahan pohon mangga macan. Indara Pitaraa menunggu kedatangan burung garuda ganas itu ketika cuaca terlihat mendung. Seketika melihat adanya orang, burung garuda itu pun lantas meluncur untuk menyambar. Namun, sebelum burung garuda itu menyambarnya, Indara Pitaraa telah melompat dan bertengger di dahan pohon mangga macan. Burung garuda itu kemudian meluncur menuju dahan pohon mangga macan, Indara Pitaraa telah melompat ke atas tanah. Begitu seterusnya yang terjadi hingga burung garuda ganas itu akhirnya kelelahan. Ketika itulah Indara Pitaraa menyerang dengan menggunakan kerisnya. Burung garuda ganas itu pun mati terkena keris pusaka Indara Pitaraa. Negeri itu pun kembali aman dan damai. Segenap warga merasa lega karena burung garuda ganas yang mereka takuti telah mati. Mereka mengelu-elukan Indara Pitaraa. Sebagai balas terima kasih, mereka menikahkan Indara Pitaraa dengan si gadis yang bersembunyi di dalam gendang besar yang ternyata adalah putri raja. Indara Pitaraa melanjutkan perjalanannya. Tibalah ia di sebuah negeri yang telah ditaklukkan oleh seekor ular besar. Ia tiba di sebuah rumah besar. Dilihatnya orang-orang di dalam rumah itu tengah mendandani seorang gadis berwajah cantik. Sangat mengherankan, orang-orang itu mendadani si gadis seraya menangis. “Apa yang terjadi?” tanya Indara Pitaraa. Orang-orang pun menjelaskan jika mereka hendak mempersembahkan si gadis kepada ular besar yang berdiam di sebuah gua. Jika mereka tidak mempersembahkan si gadis, ular besar itu akan datang ke negeri itu dan mengamuk. “Ular besar itu akan memangsa semua warga negeri ini jika tidak diberi persembahan,” kata seorang warga. “Janganlah kalian takut,” ujar Indara Pitaraa. “Biarkan ular besar itu datang ke sini. Aku akan menghadapinya.” Tidak berapa lama kemudian ular besar itu benar-benar datang. Ia tampak sangat marah karena terlambat diberikan persembahan. Gadis yang dijanjikan warga untuk persembahan kepadanya tidak juga kunjung tiba. Ia mengancam akan memangsa seluruh warga. Ular besar itu langsung menuju rumah si gadis dan bertemu dengan Indara Pitaraa yang terlihat siap melawannya. Ular besar itu langsung menyerang Indara Pitaraa. Ia memagut dan menelan Indara Pitaraa. Sangat mengherankan, Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu tanpa terluka sedikit pun juga. Kembali ular besar itu memagut dan menelan Indara Pitaraa, namun kembali pula Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu dengan selamat. Berulang-ulang hal itu terjadi hingga ular besar itu akhirnya kelelahan. Indara Pitaraa akhirnya menyerang ular besar itu dengan keris pusakanya. Serangannya mematikan hingga akhirnya ular besar itu pun mati. Tubuh ular besar itu terpotong-potong, daging tubuhnya terhambur hingga memenuhi wilayah yang luas. Segenap warga negeri itu bergembira mendapati ular besar itu telah mati. Mereka pun mengangkat Indara Pitaraa sebagai raja mereka. Indara Pitaraa memerintah dengan adil dan bijaksana hingga segenap rakyat yang dipimpinnya bertambah makmur dan sejahtera. Waktu terus berlalu. Siraapare yang tetap bertakhta sebagai raja pada suatu hari mengadakan perjalanan. Ia tiba di negeri yang dipimpin Indara Pitaraa. Pertemuan antara dua saudara kembar itu pun terjadi. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan penuh kerinduan. Keduanya juga sepakat untuk pulang ke kampung halaman mereka guna menengok kedua orangtua mereka. Tak berapa lama kemudian Indara Pitaraa dan Siraapare berangkat menuju kampung halaman mereka. Masing-masing membawa istri. Syandan, sepeninggal dua anak kembarnya dahulu, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare amat berduka. Mereka terus menangis dengan menelungkupkan wajah pada bantal kapuk. Bertahun-tahun mereka menangis, hingga biji-biji kapuk yang terdapat di dalam bantal pun tumbuh menjadi tanaman kapuk karena tersirami airmata mereka. Ketika mendapati dua anak kembar mereka telah kembali, mereka segera mengangkat kepala mereka dari bantal kapuk. Tak terkirakan gembira dan bahagia hati mereka mendapati kedua anak mereka telah kembali dan keduanya telah pula menjadi raja. Bertambah- tambah kegembiraan mereka mendapati dua anak kembar mereka kembali bersama istri-istri mereka. Sebagai wujud kegembiraan hati keduanya, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare itu mengadakan pesta yang dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare adalah hubungan antar saudara hendaklah senantiasa terus diperkuat. kebersamaan di antara saudara akan dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk menanggulangi masalah atau sesuatu yang berat. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Tersebutlah seorang anak lelaki bernama La Moelu. Ia hidup bersama ayahnya yang telah tua. Ibunya telah lama meninggal dunia, ketika La Moelu masih bayi. Karena ayahnya telah tua, La Moelu-Iah yang mencari nafkah. Ia mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan juga ayahnya. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu dijualnya di pasar. Pada suatu hari La Moelu pergi memancing. Telah seharian ia memancing, tidak seekor ikan pun yang berhasil dipancingnya. Waktu senja pun tiba. La Moelu yang telah berniat pulang menjadi gembira karena mata kailnya ditarik ikan. La Moelu menarik pancingnya. Seekor ikan mungil berada di ujung kailnya. La Moelu keheranan melihat ikan kecil itu. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat ikan kecil yang terlihat cantik itu. Maka, dibawanya ikan kecil itu untuk dipeliharanya di rumah. Ikan kecil itu dipelihara La Moelu di dalam daun yang dibentuk menyerupai mangkok. Ayah La Moelu juga senang dengan ikan kecil yang cantik tersebut. Ia menyarankan agar La Moelu memelihara ikan kecil tersebut di dalam belanga. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan kecil itu di dalam belanga dengan diberinya air dan juga makanan yang cukup. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Keesokan harinya La Moelu terperanjat ketika mendapati ikan yang dipeliharanya di dalam belanga itu telah tumbuh membesar hingga sebesar belanga. Tak terkirakan gembiranya La Moelu. “Benar-benar ikan ajaib,” katanya, “tumbuhnya sangat cepat.” Ayah La Moelu yang turut gembira lantas menyarankan agar ikan tersebut dipelihara di dalam lesung. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan peliharaannya itu di dalam lesung yang telah diberinya cukup air. Tak lupa, diberinya pula makanan. Keajaiban kembali terjadi. Keesokan harinya ikan peliharaan La Moelu tersebuttelah bertambah besar hingga sebesar lesung. “Bagaimana ini, Ayah?” tanya La Moelu. “Harus kita pelihara di mana ikan ini?” Karena tidak ada lagi tempat besar yang dapat menampung ikan itu, Ayah La Moelu menyarankan agar melepaskan ikan itu ke laut. La Moelu lantas membawa ikan itu ke laut. Ikan itu tampak gembira dilepaskan di laut. Ia berenang mengitari kaki La Moelu seolah-olah mengucapkan terima kasih. La Moelu sangat senang mendapati ikan itu sangat jinak kepadanya. Katanya kemudian, “Wahai ikan, kuberi nama untukmu Jinnande Teremombonga. Jika namamu kupanggil, hendaklah engkau muncul. Aku akan memberimu makanan jika engkau muncul ke permukaan.” Ikan yang telah diberi nama Jinnande Teremombonga itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia lantas berenang dengan gembira ke laut lepas. Sejak saat itu La Moelu setiap hari ke laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Setibanya di pinggir laut, La Moelu akan memanggil nama Jinnande Teremombonga. Ikan itu akan muncul ke permukaan laut dan menghampiri La Moelu dengan gembira. Ia akan menyantap makanan pemberian La Moelu. Ia bahkan kerap bermain-main dengan La Moelu yang sangat menyayanginya. Pada suatu hari tujuh pemuda mendapati La Moelu yang tengah bercanda dengan Jinnande Teremombonga. Semula tujuh pemuda itu kagum dengan persahabatan erat antara La Moelu dan ikan besar itu. Namun, kekaguman mereka berubah menjadi niat jahat untuk menangkap Jinnande Teremombonga! Mengetahui cara La Moelu memanggil ikan besar itu, tujuh pemuda itu pun menirunya. Mereka memanggil Jinnande Teremombonga. Seketika ikan besar itu muncul ke permukaan laut dan menghampiri mereka, ketujuh pemuda itu lantas menjerat Jinnande Teremombonga dengan jala besar yang sangat kuat. Meski Jinnande Teremombonga berusaha keras untuk melepaskan diri, namun jala itu sangat kuat hingga usaha ikan besar itu menjadi sia-sia. Tujuh pemuda itu menyeret Jinnande Teremombonga ke pantai dan menyembelih serta memotong-motongnya menjadi tujuh bagian. Masing-masing pemuda mendapat satu bagian. Mereka lantas membawa daging ikan itu ke rumah masing-masing dengan hati riang. Menurut mereka, bagian daging ikan untuknya itu tidak akan habis dimakannya selama seminggu. Pada sore harinya La Moelu datang ke pantai dan memanggil Jinnande Teremombonga. Namun, ikan itu tidak muncul seperti biasanya. La Moelu terus memanggil, namun ikan yang sangat disayanginya tidak juga menampakkan diri. Keheranan La Moelu akhirnya tersingkap setelah beberapa orang menceritakan kepadanya perihal telah dibunuhnya Jinnande Teremombonga oleh tujuh pemuda tadi pagi. La Moelu sangat sedih mendengar ikan kesayangannya itu menemui kematian secara mengenaskan. Ia pun menuju rumah salah seorang pemuda penangkap ikan kesayangannya. Bertambah tambah sedih hatinya ketika mendapati pemuda itu beserta keluarganya tengah memakan daging Jinnande Teremombonga dengan amat Iahapnya. Tulang-tulang Jinnande Teremombonga mereka buang hingga berserakan di sekitar rumah itu. La Moelu mengumpulkan tulang-tulang Jinnande Teremombonga dan membawanya pulang. Ketika tiba di rumahnya, La Moelu lantas menguburkan tulang belulang itu di halaman belakang rumahnya. Selesai menguburkan, La Moelu berujar, “Beristirahatlah dengan tenang wahai Jinnande Teremombonga yang sangat kusayangi. Beristirahatlah dengan tenang wahai sahabatku.” Keesokan harinya La Moelu terperangah ketika mendapati sebuah keajaiban di halaman belakang rumahnya. Ia melihat sebatang pohon tumbuh di tempat ia menanam tulang belulang Jinnande Teremombonga. Pohon yang luar biasa ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, dan berbuah permata! Banyak pula buahnya La Moelu memetik beberapa buah dan menjualnya. Ia terbelalak mendapati buah-buah itu dihargai sangat tinggi oleh pembelinya. Hasil penjualan buah-buah itu sangat mencukupi kebutuhan dirinya danjuga ayahnya. Bahkan, untuk membangun rumah yang indah pun masih juga cukup. La Moelu yang baik hati itu pun akhirnya hidup berbahagia. Ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya di kampungnya. Namun demikian ia tidak menyombongkan kekayaannya. Ia bahkan kerap berbagi kepada orang-orang yang datang dan meminta bantuan kepadanya. Tangannya senantiasa terulur untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkannya. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu adalah kita hendaklah menyayangi hewan karena hewan itu sesungguhnya ciptaan tuhan seperti halnya kita. hewan yang kita sayangi akan membalas dengan kasih sayangnya pula. Jika anda merasa artikel yang kami posting bermanfaat kami mohon bantuan untuk membagikan artikel ini di facebook, google plus, twitter atau media sosail yang lain. Dengan membantu membagikan cerita rakyat yang kami posting, sama dengan membantu anak Indonesia untuk mendapatkan dongeng seperti yang kita dengar ketika kita masih kecil. Terima kasih kami ucapkan untuk rekan-rekan yang sudah membagikan blog kami di media sosial. Salam dari admin

cerita rakyat dari sulawesi tenggara